- / / : 081284826829

Prospek dan Strategi Pengembangan Perbankan Syariah

Oleh ARDA DINATA

BEBERAPA waktu lalu, dunia perbankan dikejutkan kembali dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang bunga bank haram. Sejak semula, para ulama sebenarnya telah sepakat bahwa bunga bank adalah haram. Dan keputusan fatwa ini sebenarnya bukan merupakan hal baru, karena sejak tahun 1990-an, MUI telah memilih bahwa bunga bank tersebut haram. Bahkan MUI telah memberi solusi dengan mengusulkan pendirian sebuah bank tanpa bunga pada tahun 1992. Dan fatwa ini juga dikuatkan kembali lewat terbentuknya Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tahun 1999 yang mengharamkan bunga bank.

Adanya fatwa MUI itu, tak ayal mendapat sambutan hangat dari kalangan masyarakat perbankan syariah yang telah mendesak keluarnya fatwa MUI ini sejak 2001 lalu. Seperti diakui, Rizqullah, kepala Devisi Syariah BNI, pihaknya menyambut fatwa MUI itu bukan hanya sebagai dorongan moral, tapi juga jadi suatu komitmen untuk mengembangkan tidak hanya bank syariah tapi lebih luas lagi.

Jadi, dengan kata lain adanya fatwa MUI ini bisa menjadi suplemen bagi perbankan syariah, terutama bagi mereka yang selama ini masih ragu untuk mengambil keputusan memilih bank syariah. Berkait dengan ini, menurut mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Achjar Ilyas, sangat tepat dan efektif jika keluarnya fatwa MUI tersebut merupakan satu paket yang koheren dan sinergis antara ulama dan umara sesuai dengan blue print pengembangan syariah. Sehingga kekhawatiran tidak ‘digugu’nya fatwa pun akan segera berganti panutan.



Senada dengan itu, menurut Rizqullah, untuk memunculkan kepercayaan masyarakat, fatwa tersebut perlu diimbangi dengan political will pemerintah. Ada dan tidaknya fatwa MUI, sebenarnya bank syariah akan tetap berkembang. Bahkan bukan tidak mungkin bank syariah bisa menjadi sistem perbankan nasional. Lebih jauh, bahkan jika fatwa itu diiringi dengan political will dari pemerintah, tentu akan mempercepat bank syariah menjadi sistem perbankan nasional dengan dukungan dan kepercayaan masyarakat.

Seiring dengan dikeluarkannya fatwa MUI itu, meski jelas-jelas menguntungkan perbankan syariah, justru yang menjadi tantangan adalah pada kesiapan bank syariah sendiri dalam meyakinkan umat dengan segala kinerja dan produk yang ditawarkannya. Menurut DR. Mulya Siregar, Direktur Litbang Perbankan Syariah BI, fatwa yang dikeluarkan MUI ini harus diiringi dengan kekuatan bank syariah sehingga betul-betul bisa mencapai kekuatan pasar yang sama dan seimbang dengan perbankan konvensional.

Dalam bahasa lain, Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, mengatakan ke depan, dengan adanya fatwa MUI itu, industri perbankan syariah harus bisa berkembang dengan sungguh-sungguh supaya masyarakat memiliki pilihan yang lebih baik. Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya kondisi kinerja bank syariah selama ini? Bagaimana prospek pengembangan perbankan syariah itu pasca fatwa MUI? Dan strategi seperti apa yang dilakukan agar pengembangan perbankan syariah ini dapat meningkat kinerja dan produktifitasnya?

* *

MESKI industri perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan, sistem ini telah menunjukkan perkembangan kinerja yang positif. Misalnya, selama periode tahun 1998-2002, perbankan syariah telah tumbuh rata-rata sebesar 57,6 persen. Berarti, tumbuh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan perbankan konvensional sebesar 12,3 persen.

Bergulirnya peran perbankan syariah yang terus meningkat ini tampak dari perhimpunan dana masyarakat yang naik 0,05 persen (1998) menjadi 0,38 persen pada akhir 2002. Begitu pun pengeluaran dana, meningkat dari 0,08 persen (1998) menjadi 0,86 persen (2002). Padahal pada periode yang sama (1998-2002), pengeluaran kredit oleh perbankan konvensional turun dari Rp 545 triliun menjadi Rp 388 triliun. Hal ini menunjukkan pula selama krisis, perbankan syariah ternyata masih mampu menyalurkan pembiayaan baru. Sementara itu, perbankan konvensional malah mengalami penurunan. Kalau pun terdapat penyaluran kredit, namun dengan jumlah yang kecil.

Tentu saja penilaian semacam itu tidak berlebihan kalau diperhatikan dari angka-angka yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah yang ada. Namun yang jelas, menurut data tahun 2003, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan syariah terus tumbuh tapi portofolionya sampai saat ini masih relatif kecil. Pertumbuhan perbankan syariah sendiri di tengarai karena banyaknya kantor cabang syariah, kantor cabang pembantu, kantor kas bank-bank umum syariah maupun dari bank-bank yang memiliki unit usaha syariah atau kantor cabang syariah yang dibuka di beberapa ibukota provinsi dan kabupaten (MS Adji Pamungkas; 2004).

Data statistik perbankan syariah dari BI, Desember 2003, telah menunjukkan adanya perkembangan jumlah bank syariah yang cukup signifikan, yaitu: 2 bank umum syariah, 8 unit usaha syariah dan 84 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan jumlah outlet sebanyak 259 unit (diluar BPRS). Rincianya sebanyak 119 kantor cabang (KC), 26 kantor cabang pembantu (KCP), dan 114 kantor kas/KK, seperti terlihat dalam tabel (1).

Lebih jauh, pertumbuhan perbankan syariah tidak hanya dilihat dari banyaknya jumlah kantor layanan, tetapi juga dapat dilihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga yang dapat dihimpun dari masyarakat, seperti terlihat pada tabel (2).

Dari tabel (2), terlihat pertumbuhan dana (dalam 9 bulan terakhir) mencapai 71 persen. Angka ini, tentu sangat signifikan dan justru yang mengembirakan perolehan itu terjadi sebelum adanya fatwa dari Komisi Fatwa MUI pada 16 Desember 2003. Namun demikian, menurut MS Adji Pamungkas (2004), jika kita melihat pangsa pasar perbankan terhadap total bank secara nasional, ternyata masih belum menggembirakan. Dari data yang ada di BI per November 2003, total aset bank syariah sebesar Rp 7,44 triliun atau hanya 0,65 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 1142,23 triliun. Begitu juga dengan DPK yang dapat diraup bank syariah baru RP 5,16 triliun atau hanya 0,59 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 875,42 triliun.

Sementara itu, pembiayaan yang sudah disalurkan sebesar Rp 5,47 triliun atau 1,15 persen dari total bank secara nasional. Kendati demikian, financing deposit ratio (FDR), di bank konvensional dikenal dengan LDR, lebih baik yakni 105,92 persen. Sedangkan perbankan nasional LDR-nya hanya 54,34 persen. Begitu juga dengan Non-Performing loan (NPL) atau kredit macet, bank syariah perkembangannya cukup bagus yakni hanya sebesar 3,67 persen, sedangkan perbankan nasional sebesar 7,77 persen.

Kalau kita cermati dari data-data angka yang ada, tentu prospek perbankan syariah cukup menjanjikan, lebih-lebih pasca fatwa MUI. Namun, pertanyaannya adalah apakah indikator itu benar-benar murni hasil dari profesionalisme kinerja bank syariah? Kenapa hal ini perlu dipertanyakan? Alasannya, sebab banyak faktor lain yang sebenarnya membantu bank syariah bisa menghasilkan angka-angka itu. Dan umumnya angka-angka itu merupakan sumbangan sukarela dari masyarakat, bukan faktor murni pengelola bank syariah, sebab angka itu hanya mengacu kepada pertumbuhan saja.

Dalam hal ini, menurut Dr Jafril Khalil (2002), direktur CIERA, bank sebagai lembaga keuangan yang melakukan bisnis sangat tergantung keberhasilannya dari beberapa hal berikut, yaitu: profesionalisme para bankir, pemasaran yang rasional, produk-produknya yang kompetitif dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, dan terakhir pelayanan yang profesional.

Untuk itu, tidak berlebihan bila Ketua Dewan Syariah Nasional, KH Ma’ruf Amien mengkritik sistem pengembangan usaha yang lamban dari pengelola bank syariah. Akibatnya, pertumbuhan bank syariah sangat lambat dan tidak cukup menarik bagi umat Islam. Menurut dia, seharusnya pengelola bank syariah terus bersaing jangan hanya berpatokan kepada kehalalan saja. Manajemen harus cerdas dalam menciptakan produk-produk yang kompetitif dan menarik bagi nasabah, yang akhirnya mendorong umat Islam merasa tidak ada pilihan lain selain bank syariah sebagai lembaga ekonomi yang sehat dan menguntungkan.

Untuk menggapai kondisi pengembangan bank syariah yang lebih baik, maka harus diterapkan sejumlah prinsip-prinsip pokok kebijakan seperti disarankan Bank Indonesia (2001) berikut ini: Pertama, pengembangan jaringan kantor perbankan syariah diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (market driven) yaitu interaksi antara masyarakat yang membutuhkan jasa perbankan syariah dengan investor atau lembaga perbankan yang menyediakan pelayanan jasa perbankan syariah. Dalam hal ini peran otoritas perbankan (BI) lebih ditekankan pada penciptaan perangkat ketentuan perbankan yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan usaha bank syariah yang sehat, efesien dan sejalan dengan prinsip syariah.

Kedua, pengaturan dan pengembangan perbankan syariah dilaksanakan dengan tidak menerapkan infant industry argument yaitu memberikan perlakuan-perlakuan khusus. Perlakuan yang sama (equal treatment) antar bank syariah. Perbedaan pengaturan dan ketentuan diharapkan pada perbankan syariah dilaksanakan dalam rangka memenuhi prinsip syariah dan/atau karena perbedaan nature bisnisnya.

Ketiga, pengembangan perbankan syariah baik dari sisi kelembagaan maupun pengaturan dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan (gradual and sustainabel approach). Berkaitan dengan ini, kita tidak dapat mengaharapkan satu kesempurnaan baik dari aspek operasional maupun aspek syariah dari suatu perbankan syariah yang baru berkembang.

Keempat, pengaturan dan pengembangan perbankan syariah menerapkan prinsip universalitas sesuai dengan nilai dasar Islam yaitu rahmat bagi sekalian alam. Sejalan dengan itu, pengembangan perbankan syariah diarahkan bahwa jasa bank syariah dapat digunakan dan dikembangkan oleh semua lapisan masyarakat. Namun penyediaan dan penggunaan jasa perbankan syariah tersebut harus taat terhadap prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan kegiatan dan akad perbankan.

Kelima, mengingat bahwa perbankan syariah adalah sistem perbankan yang mengedepankan moralitas dan etika, maka nilai-nilai yang menjadi dasar dalam pengaturan dan pengembangan serta nilai-nilai yang harus diterapkan dalam operasi perbankan adalaah siddiq, istiqomah, tabliq, amanah, fathonah. Selain itu adalah penerapan nilai-nilai kerjasama, pengelolaan yang profesional, tanggung jawab, serta upaya bersama-sama dan terus menerus untuk melakukan perbaikan.

* *

BAGI umat Islam, paling tidak kehadiran bank syariah merupakan karunia Allah yang patut disyukuri. Pasalnya, umat ini sudah lama mendambakan kehadiran bank yang sesuai dengan syariat Islam dan terbebas dari transaksi yang menggunakan instrumen bunga.

Namun demikian, kenyataan di lapangan memperlihatkan masih ada sementara orang yang masih apriori dengan perbankan syariah. Faktor penyebab yang dominan adalah akibat kurangnya informasi akibat sosialisasi perbankan syariah yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, karena masih banyak kelemahan/ kendala yang patut dibenahi dan disempurnakan, baik dalam pelayanan, jaringan maupun perangkat-perangkat kinerja perbankan syariah lainnya.

Dalam bahasa lain, saat ini bank syariah menghadapi beberapa kendala untuk dicari jalan keluarnya, diantaranya: (1) Masih lemahnya sumber daya manusia (SDM). Maraknya bank syariah di Indonesia belum diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai, terutama SDM berlatar belakang keilmuan bidang lembaga keuangan syariah. Nampaknya, kesulitan SDM merupakan permasalahan yang dikeluhkan hampir setiap bank syariah. Meski setiap bank syariah telah melakukan berbagai pendidikan dan latihan intensif bagi seluruh karyawannya, bukan berarti SDM yang ada telah memadai.

(2) Belum memadainya peraturan pemerintah di bidang perbankan syariah. (3) Kurangnya akademisi perbankan syariah, hal ini diakibatkan lingkungan akdemisi lebih memperkenalkan kajian-kajian perbankan yang berbasis pada instrumen konvensional. (4) Masih kurangnya sosialisasi ke masyarakat tentang keberadaan bank syariah. Sosialisasi tidak sekedar memperkenalkan adanya bank syariah, tetapi juga memperkenalkan mekanisme, produknya dan instrumen-instrumen keuangan bank syariah kepada masyarakat.

Untuk mengatasi kendala-kendala pengembagan perbankan syariah seperti itu, menurut Heri Sudarsono (2003), ada beberapa strategi yang diperlukan yaitu: Pertama, peningkatan kualitas SDM di bidang perbankan syariah. Hal ini diperlukan untuk memicu pengembangan bank syariah. Dalam bahasa Adiwarman Karim, kalau kekurangan SDM ini tidak mendesak untuk diselesaikan, maka bisa menjadi ganjalan bagi kelangsungan hidup bank syariah.

Kedua, perlu upaya-upaya lebih progresif bukan saja dari praktisi, tetapi juga dari pemerintah dan ulama untuk mendorong pemenuhan legalitas instrumen syariah guna memberi ruang yang lebih besar bagi tumbuhnya bank syariah.

Ketiga, peningkatan kualitas bank syariah perlu didukung akademisi. Keterlibatan akademisi akan membangun konstruksi lembaga keuangan syariah lebih masuk akal dan bisa diterima oleh banyak pihak.

Keempat, butuh sosialisasi yang lebih agresif mengenai bank syariah. Sosialisasi ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi bank konvensional untuk membuka kantor cabang syariah, atau semua pihak untuk mendirikan bank umum syariah di seluruh pelosok negeri. Selain sebagai sarana untuk mensosialisasikan bank syariah, langkah ini juga diperlukan untuk mengurangi perilaku ekonomi yang mengandung unsur riba, maisir dan gharar.

Selain keempat strategi itu, yang tidak kalah penting adalah adanya aturan tersendiri tentang perbankan syariah. Misalnya, masalah-masalah yang mendasari pada setiap produk yang ditawarkan oleh bank syariah; mayoritas pemilik saham bank syariah mesti orang Islam, pengaturan syarat-syarat pemecatan maupun pemberhentian pengurus, dan masalah manajemen bank syariah itu sendiri. Adapun berkait masalah manajemen, menurut Jafril Khalil (2003), bank syariah bukan hanya sekedar sistem mati yang hanya terkait dengan bisnis. Namun merupakan sistem yang terkait dengan pengurus bank itu sendiri. Tentu akan menjadi aneh kalau bank yang diberi embel-embel syariah lalu para direksi dan pegawainya tidak mengerti syariah atau tidak melaksanakan syariah.

Begitu juga terkait dengan masalah pengawas syariah. Masalah ini perlu ada aturan yang jelas di masa depan. Seperti langsung menyatu dengan komisaris. Artinya seorang dari komisaris mesti orang yang mampu mengawasi pelaksanaan syariah dalam bank tersebut. Sehingga ia akan menjadi terhormat, tidak seperti apa yang berlaku sekarang, yakni tidak punya posisi yang kuat dalam mengatur pelaksanaan syariahnya.

* *

DENGAN adanya fatwa MUI dan langkah penerapan strategi pengembangan perbankan syariah seperti di atas, tentu akan menjadi akselerasi bagi masyarakat perbankan syariah untuk segera mawas diri dan meningkatkan kinerja maupun produktifitasnya. Sehingga dampaknya masyarakat pun akan semakin mampu untuk mengakses segala produk syariah.

Akhirnya, untuk mengejar keuntungan bagi perbankan syariah di masa depan, maka di antara yang perlu dikedepnkan untuk dibenahi, di samping masalah manajemen perbankan syariah adalah perbaikan dari segi investasi. Yakni bank syariah, ia mesti dibenarkan untuk melakukan mudharabah pada sektor riil atau melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang sudah mapan. Sehingga hemat penulis, tanpa adanya perubahan yang signifikan, walau pun ada fatwa MUI, bank syariah hanya akan menjadi lambang kebanggaan saja bagi umat Islam di Indonesia. Jadi, tunggu apa lagi! Segera benahi kinerja dan produktifitas perbankan syariah menuju profesionalisme yang lebih baik. Wallahu a’lam.***


Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com
WWW.ARDADINATA.COM