- / / : 081284826829

Hakekat kebebasan dalam konstitusi Madinah

-----------------------------------------------------------------
Oleh ARDA DINATA
Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia
------------------------------------------------------------------------------
MERDEKA diartikan sebagai bebas (dari perhambaan, penjajahan dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak tergantung pada sesuatu yang lain); lepas (dari tuntutan). Orang menyebut kemerdekaan ini dengan kebebasan.

Kondisi bebas itu dapat dimaknai dengan beberapa pengertian. (1) Bebas berarti lepas sama sekali (tidak teralang, terganggu dsb sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dsb dengan leluasa). (2) Bebas berarti lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan dsb). (3) Bebas berarti merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain). Lantas, timbul pertanyaan bagaimana pandangan (konstitusi Madinah) Islam terhadap kemerdekaan/kebebasan bagi tiap individu dan bangsa?

Untuk menjawabnya, kita tidak akan terlepas dari arti Islam itu sendiri. Yakni, Islam itu damai. Artinya, apakah ada rasa aman dan damai dalam suatu perbudakan dan penjajahan? Jawabnya, tentu di setiap perbudakan dan penjajahan tidak akan terdapat perdamaian, justru sebaliknya timbul ketakutan dan perkosaan.



Pada tatanan itulah, Islam jelas-jelas anti penjajahan, ketertindasan dan perbudakan. Islam pro kemerdakaan. Ketika seorang anak Adam mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti dia telah memproklamasikan kemerdekaan dirinya. Dia telah melepaskan dirinya dari perbudakan antara sesama makhluk. Lantas, bagaimana hakekat sebuah kemerdekaan/kebebasan di Indonesia dewasa ini?

Bagi bangsa Indonesia, merdeka dalam arti yang hakiki ternyata suatu barang langka. Kondisi suburnya tanah; melimpahnya sumber daya alam; letak geografis yang strategis; potensi sumber daya manusia yang melimpah dengan beragam keahlian, suku bangsa dan bahasa, ternyata belum menjadi jaminan bisa meraih kemerdekaan (kebebasan) itu. Bahkan, bisa jadi bangsa dan rakyat kebanyakan justru merasakan ketertindasan dan keterkukungan oleh bangsanya sendiri.”

Berkait dengan itu, menurut dosen FISIP UI, Eep Saefullah Fatah, sebetulnya yang sudah kita capai itu kemerdekaan formal, negara berdaulat. Kemerdekaan hakiki hanya bisa tercapai apabila semua orang di negara yang berdaulat itu benar-benar merdeka.

Sementara itu, dalam pandangan Sosiolog UI, Dr. Imam Prasodjo, salah satu ciri negara merdeka adalah mampu membangkitkan harapan dan kesempatan yang luas kepada warganya untuk memperbaiki taraf hidup. Di negara-negara maju, selalu saja, ada impian atau harapan yang didengungkan. Lebih jauh, diungkapkan bahwa kesempatan tersebut harus diberikan kepada semua orang. Tidak boleh ada diskriminasi karena perbedaan status sosial seperti pada zaman feodal.

Untuk itu, agar kita dapat menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya, maka setiap kita harus memposisikan kemerdekaan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yaitu kemerdekaan ini tidak dapat dilakukan secara sekehendak hati setiap individu, kerena hal ini dapat ditumpangi oleh hawa nafsu, sehingga merusak kemerdekaan orang lain dan kemerdekaan itu sendiri.

Lebih jauh dari itu, kemerdekaan sebenarnya merupakan manifestasi keimanan, sehingga kemerdekaan itu mengandung arti tanggung jawab. Seharusnya setiap orang beriman itu akan mempertahankan kemerdekaannya dengan sepenuh kekuatan, baik badan, lisan dan perasaan. Hanya orang yang lemah imannya yang akan mempertahankan kemerdekaannya dengan perasaannya saja (baca: hati).

Oleh sebab itu, bagi mereka yang keras imannya tidak akan mau dan rela melepaskan kemerdekaannya barang sedikit dan sejenak pun. Baginya, kemerdekaan merupakan mahkota kehormatan yang dilimpahkan Tuhan kepadanya. Dan melalui kemerdekaan itulah, seseorang dapat memperbaiki nasibnya, memperoleh derajat tinggi dan memperjuangkan kehormatan yang agung.

Konstitusi Madinah
Berbicara kebebasan, sebenarnya kita membicarakan tentang hak asasi manusia (HAM). Karena, kebebasan itu sendiri merupakan bagian dari HAM. Dalam UUD 1945, kita mengenal ada beberapa hak asasi yang patut didapatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Yaitu hak untuk hidup; persamaan kedudukan (pasal 27); kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (pasal 28); kemerdekaan beragama (pasal 29); dan hak mendapat pengajaran (pasal 31).

Sementara itu, dalam konstitusi Madinah tersirat beberapa pasal yang merupakan hak asasi manusia, diantaranya: Pertama, hak untuk hidup. Hal ini manusiawi bahwa setiap orang ingin hidup lama. Konstitusi Madinah dalam pasal 14 disebutkan bahwa, “Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin.”

Kedua, hak mencari kebahagiaan. Dalam konstitusi Madinah, telah meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas. Hal ini memberi makna bahwa kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. Artinya harus terpenuhi kebutuhan rohani dan jasmani, bukan hanya kesejahteraan atau kebahagiaan orang seorang/golongan tertentu melainkan kebahagiaan seluruh rakyat.

Ketiga, keadilan. Dalam hubungan dengan keadilan ini ialah adanya ketentuan dalam konstitusi Madinah yaitu pasal 20 dan 43 yang tidak memperkenankan melindungi harta dan jiwa orang Quraisy serta orang-orang yang membantunya. Hal ini dikarenakan orang kafir Quraisy memerangi agama Islam waktu itu.

Keempat, kebebasan, yaitu meliputi: (a) Kebebasan mengeluarkan pendapat. Makna ini tersirat dalam konstitusi Madinah pada pasal 12, yaitu: “Bahwa seorang mukmin tidak boleh mengikat persekutuan atau aliasi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya.” Ini mengisyaratkan kita perlu mengeluarkan pendapat (baca: urun rembuk) melalui musyawarah. Demikian pula halnya yang tersirat dalam pasal 17, yaitu: “Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.”

(b) Kebebasan beragama. Ada beberapa pasal yang berkait dengan kebebasan beragama ini, diantaranya: “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, …” (pasal 25); “Sesungguhnya Yahudi Bani al-Najjar memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf.” (pasal 26); “Sesungguhnya orang-orang dekat atau teman kepercayaan kaum Yahudi memperoleh perlakuan yang sama seperti mereka.” (pasal 35).

(c) Kebebasan dari kemiskinan. Konsep ini pada hakekatnya sejalan dengan usaha membebaskan diri dari kekurangan, kemelaratan dan kemiskinan. Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan. Di dalam konstitusi Madinah, upaya masalah ini berupa usaha kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandangan Barat.

(d) Kebebasan dari perasaan takut. Pasal yang terkait dengan ini di dalam konstitusi Madinah, antara lain: pasal 14 seperti disebut di awal; pasal 40 (Sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan secara jahat); pasal 47 (….Siapa saja yang keluar dari kota Madinah dan atau tetap tinggal didalamnya aman, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa….).

Sementara itu, hakekat kebebasan dalam Islam secara umum bukan hanya meliputi kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat luas, yaitu: kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech); kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear); kebebasan dari kemiskinan (freedom from want); dan kebebasan beragama (freedom of religion).

Akhirnya, selamat hijrah menuju kebebasan/kemerdekaan yang sesungguhnya dan hanya melalui nilai-nilai Islami tersebut, kita dapat menghantarkan bangsa ini dalam memaknai sebuah arti kemerdekaan yang sebenarnya. Wallahu’alam.***



Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com
WWW.ARDADINATA.COM