- / / : 081284826829

Nasionalisme dan Kemerdekaan dalam Islam

Nasionalisme dan Kemerdekaan dalam Islam
Oleh Arda Dinata

PADA dasarnya demokrasi itu mengajarkan tentang persamaan dan persaudaraan di antara sesama manusia, serta kemerdekaan. Kedua pokok tema inilah yang akan menghiasi tulisan ini. Berdasarkan taksonomi nasionalisme bangsa-bangsa di dunia, nasionalisme Indonesia termasuk ke dalam kelompok “nasionalisme negara-negara berkembang,” di samping ada juga yang menyebutnya dengan “nasionalisme Timur”. Penggolongan nasionalisme Timur ini, disebabkan adanya rasa kebangsaan yang digerakan oleh semangat anti penjajahan. Latar belakang demikian, tentu berbeda dengan golongan nasionalisme Barat yang didasarkan dari semangat kebebasan, persaudaraan, serta persamaan hak dan kewajiban sesama anggota masyarakat atau bangsa dalam arti yang sebenarnya.

Keberadaan konsep nasionalisme ini, akan selalu aktual dan merupakan syarat yang mesti terpatri dalam pergumulan kehidupan berbangsa, jika suatu bangsa itu tidak ingin “digembosi” lagi dilibas oleh negara lain.

Oleh karena itu, menurut dosen FISIP Unpas, Setia Permana (1999), paham kebangsaan (baca: nasionalisme-Pen) tidak mengenal istilah kuno, akan tetapi, ia adalah merupakan “anak sah” dalam ruang lingkup dialektika kehidupan bernegara dan berbangsa. Baik itu dalam kondisi terjajah maupun dalam kondisi “normal”. Ia senantiasa berada dalam koridor dinamika pergumulan peradaban bangsanya. Lebih jauh, diungkapkan kalau konsep nasionalisme dan sekaligus sentuhannya ini, semestinya selalu terbesit dalam penorehan kehidupan bangsa. Ia tidak sepatutnya luntur oleh sebuah argumentasi adanya ideologi globalisasi. Malahan dengan arus globalisasi yang menerpanya, maka ia, patut makin mengencangkan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalismenya.



Berkait dengan nasionalisme Indionesia, Hamdi Muluk (2000), pengajar Fakultas Psikologi UI, menyebutkan bahwa proses psiko-historis terbentuknya “negara-bangsa” Indonesia menyimpulkan beberapa hal.

Pertama, bahwa konsep nation –seperti yang umumnya dipahami lewat definisi-definisi bangsa pada umumnya seperti, kelompok orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu yang berbagi (share) suatu bahasa yang sama, kesejarahan yang sama, tradisi yang sama, agama yang sama, suatu cara hidup yang sama, perasaan memiliki nasib yang sama dan perangkat ingatan sejarah serta aspirasi yang sama-- tidaklah selalu tepat secara keseluruhan bagi konteks Indonesia. Malahan, apa yang kita saksikan sebenarnya adalah suatu fakta bahwa Indonesia dibentuk dari pluralitas kebangsaan yang sudah ada, jadi suatu state yang pada hakikatnya terdiri dari multination, kecuali beberapa kesamaan; yaitu perasaan senasib dan perasaan punya musuh bersama, atau mungkin juga cita-cita dan kepentingan ke depan yang sama?

Kedua, semangat sentimen kebangsaan (nasionalisme Indonesia) dan semangat loyalitas pada negara (patriotisme) adalah suatu proses “kesadaran yang harus secara sengaja ditumbuhkan,” bukan suatu sentimen dan patriotisme yang “sudah terberi” serta dianggap sudah mempunyai akar sejarah yang panjang dan jelas. Kalau semangat kebangsaan dan patriotisme dipahami dengan cara terakhir ini, yang terjadi adalah mengedepannya semangat "kebangsaan” dan patriotisme kedaerahan yang sudah berakar panjang dan bersifat primordial, atau apa yang kita namakan semangat etnonasionalisme.

Secara demikian, tidaklah masuk akal, jika tataran kepolitikan yang terbangun dalam bangsa ini terkooptasi oleh kekuatan yang eksklusif dan primordialistik. Dalam arti lain, jangan sampai hasil pembangunan bangsa ini hanya melahirkan dan atau memproteksi sebagian kecil anggota masyarakat. Sementara di bagian lain –masyarakat kebanyakan--, ada dalam wilayah pinggiran.

Kondisi seperti itu, tentu akan merusak sendi-sendi nasionalisme yang sebenarnya telah teruji kebenarannya dalam menghantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Dalam Islam sendiri, mengenai persamaan di antara manusia –yang merupakan pembentuk kekuatan nasionalisme-- disebutkan antara lain:

- Persamaan asal, yaitu manusia berasal dari tanah kering, tanah hitam yang busuk, dan air mani (baca: QS. Al Hijr: 26; An Nahl: 11).

- Persamaan proses, yaitu adanya hubungan biologis pria dan wanita (baca: QS. Al Furqon: 54).

- Persamaan sebagai makhluk masyarakat, dapat menggunakan pikiran dan perasaan (baca: QS. An Nahl: 78).

- Persamaan darah keturunan dari Nabi Adam as.

- Persamaan tempat tinggal di muka bumi ini.

Pada konteks ini, pantas saja Ernest Renan dalam karyanya “What Is a Nation” mengatakan, bangsa adalah suatu solidaritas luhur, yang terbina dari penghayatan akan pengorbanan yang telah diberikan oleh para warganya, dan dari kesiapan mereka untuk tetap melakukan pengorbanan-pengorbanan.

Untuk itu, hendaknya ruh nasionalisme ini senantiasa menghiasi dan melingkupi gerak langkah anak bangsa dalam mengelola sebuah biduk kehidupan negara-bangsa Indonesia ini. Pertanyaannya adalah sudahkah nilai nasionalisme seperti itu telah kita miliki dalam negara yang telah merdeka 57 tahun? Lalu, bagaimana pandangan Islam sendiri atas sebuah kemerdekaan tersebut?

Kemerdekaan dalam Islam


Dalam Islam, apakah mengakui adanya kemerdekaan bagi tiap individu dan bangsa? Untuk menjawabnya, kita tidak akan terlepas dari arti Islam itu sendiri. Yakni, Islam itu damai. Artinya, apakah ada rasa aman dan damai dalam suatu perbudakan dan penjajahan? Jawabnya, tentu di setiap perbudakan dan penjajahan tidak akan terdapat perdamaian, justru sebaliknya timbul ketakutan dan perkosaan.

Pada tatanan itulah, Islam jelas-jelas anti penjajahan, ketertindasan dan perbudakan. Islam pro kemerdakaan. Ketika seorang anak Adam mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti dia telah memproklamasikan kemerdekaan dirinya. Dia telah melepaskan dirinya dari perbudakan antara sesama makhluk.

Dalam sejarah Islam, kita melihat bahwa ketika kalimat dan seruan kemerdekaan (baca: dua kalimat syahadat) menggema menghampiri ke pelosok-pelosok Mekkah, nabi dan para sahabat di tuduh sebagai pengganggu stabilitas nasionalnya, oleh kaum kuffar. Tawaran baik Nabi Saw. berupa “kemerdekaan sesungguhnya” –jalan lurus-- disambut lemparan batu, kotoran binatang, dan caci maki. Tapi, Rasul Saw. Itu tidak serta merta melancarkan balasan peperangan. Malahan sebaliknya ketika kaum kuffar masih tetap mengakui kemerdekaan versi nenek moyangnya, Nabi Saw. tetap tegar “menyanyikan” lagu kemerdekaan yang sesuai risalah illahi itu secara bijaksana.

Di sini, jelas-jelas orang kuffar itu telah salah memaknai arti sebuah kemerdekaan yang hakiki (karena telah tertutup mata hatinya). Padahal kemerdekaan yang mereka anut tersebut secara nyata adalah semata-mata kemerdekaan yang memiliki keterikatan dengan hawa nafsu yang dibuat oleh mereka sendiri –kebebasan yang dibelenggu oleh Hizbussyaithan--. Lantas, bagaimana hakekat sebuah kemerdekaan di Indonesia dewasa ini?

Bagi bangsa Indonesia, merdeka dalam arti yang hakiki ternyata suatu barang langka. Kondisi suburnya tanah; melimpahnya sumber daya alam; letak geografis yang strategis; potensi SDM yang melimpah dengan beragam keahlian, suku bangsa dan bahasa, ternyata belum menjadi jaminan bisa meraih kemerdekaan (kebebasan) itu. Bahkan, bisa jadi bangsa dan rakyat kebanyakan justru merasakan ketertindasan dan keterkukungan oleh bangsanya sendiri.”

Berkait dengan itu, menurut dosen FISIP UI, Eep Saefullah Fatah, sebetulnya yang sudah kita capai itu kemerdekaan formal, negara berdaulat. Kemerdekaan hakiki hanya bisa tercapai apabila semua orang di negara yang berdaulat itu benar-benar merdeka.

Sementara itu, dalam pandangan Sosiolog UI, Dr. Imam Prasodjo, salah satu ciri negara merdeka adalah mampu membangkitkan harapan dan kesempatan yang luas kepada warganya untuk memperbaiki taraf hidup. Di negara-negara maju, selalu saja, ada impian atau harapan yang didengungkan. Lebih jauh, diungkapkan bahwa kesempatan tersebut harus diberikan kepada semua orang. Tidak boleh ada diskriminasi karena perbedaan status sosial seperti pada zaman feodal.

Untuk itu, agar kita dapat menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya, maka setiap kita harus memposisikan kemerdekaan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yaitu kemerdekaan ini tidak dapat dilakukan secara sekehendak hati setiap individu, kerena hal ini dapat ditumpangi oleh hawa nafsu, sehingga merusak kemerdekaan orang lain dan kemerdekaan itu sendiri.

Lebih jauh dari itu, kemerdekaan sebenarnya merupakan manifestasi keimanan, sehingga kemerdekaan itu mengandung arti tanggung jawab. Seharusnya setiap orang beriman itu akan mempertahankan kemerdekaannya dengan sepenuh kekuatan, baik badan, lisan dan perasaan. Hanya orang yang lemah imannya yang akan mempertahankan kemerdekaannya dengan perasaannya saja (baca: hati).

Oleh sebab itu, bagi mereka yang keras imannya tidak akan mau dan rela melepaskan kemerdekaannya barang sedikit dan sejenak pun. Baginya, kemerdekaan merupakan mahkota kehormatan yang dilimpahkan Tuhan kepadanya. Dan melalui kemerdekaan itulah, seseorang dapat memperbaiki nasibnya, memperoleh derajat tinggi dan memperjuangkan kehormatan yang agung.

Sementara itu, kemerdekaan dalam Islam bukan hanya meliputi kemerdekaan dari perbudakan dan penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat luas (Drs. Sukarna; 1981), yaitu:

(1) Kemerdekaan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech);
(2) Kemerdekaan dari pada rasa ketakutan (freedom from fear);

(3) Kemerdekaan dari pada kemiskinan (freedom from want); dan

(4) Kemerdekaan beragama (freedom of religion).

Akhirnya, selamat hijrah menuju kemerdekaan yang sesungguhnya dan hanya melalui nilai-nilai Islami tersebut, kita dapat menghantarkan bangsa ini dalam memaknai sebuah arti kemerdekaan yang sebenarnya. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com
WWW.ARDADINATA.COM