- / / : 081284826829

KETIKA SEBUAH LAMBANG TIDAK SESUAI KENYATAAN

(Tanggapan Atas Tulisan Dudung Abdul Hakim)

Oleh Arda Dinata, AMKL.

SAYA tertarik ketika membaca tulisan saudara Dudung Abdul Hakim berjudul ‘Lambang’ pada rubrik percikan (Mitra Dialog, 16 Oktober 1998). Sehingga membuat saya ingin sedikit menanggapi atas isi dari tulisan tersebut.

Pada dasarnya, tulisan itu mempertanyakan ketika sebuah lambang sebagai standar, tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang dikandungnya. Dan apakah dengan meninggalkan lambang-lambang sebagai standar, otomatis akan membuat penganutnya lebih mendekati nilai-nilai hakiki?


* *

SIAPA bilang lambang atau nama tidak punya makna dan kesan terhadap orangnya atau sesuatu yang diberi lambang tersebut? Siapa bilang lambang atau nama juga hanya sebuah gambar atau kata-kata tanpa arti dan berarti?

Dalam Islam, sebuah nama adalah cerminan harapan orang tua terhadap perilaku, dan hari depan si anak. Begitu juga dengan lambang, merupakan cerminan dan harapan pendiri, pengurus dan orang-orang yang ada didalamnya terhadap eksistensi, visi dan kepribadian arah hidupnya.

Di sini cukup jelas, kalau lambang dan nama itu adalah sesuatu yang maya wujudnya. Ia hanya sebuah visi, misi, dan harapan si pemberi nama dan lambang tersebut. Sehingga lambang dan nama ini, bukan saja tidak bisa dijadikan sebuah parameter kebaikan seperti yang diungkap Dudung AH. Tetapi lebih dari itu, menurut penulis lambang itu memang bukan sebagai parameter kebaikan. Mestinya, yang dijadikan parameter tersebut adalah amal perbuatan yang diberi lambang dan nama tersebut.

Karena itu, tidak aneh jika kita menyaksikan lambang dan namanya bagus (Islami), tapi ahlak dan perilakunya bertentangan dengan makna hakiki yang terkandung dalam lambang dan nama tersebut. Untuk itu kita jangan terpesona oleh bentuk luarnya saja, sebelum kita benar-benar membuktikan isi yang sebenarnya.

Ibarat buah kedongdong, ia mempunyai bentuk luar yang halus, tetapi didalamnya kasar (semramut). Berbeda dengan buah rambutan, pada bagian luarnya terlihat kasar, tetapi bagian dalamnya halus. Kedua buah yang dicontohkan di atas, bisa diibaratkan dengan berbagai lambang dan nama yang ada di dunia ini. Dan idealnya, kedua bagian itu bagus dan baik sesuai dengan nilai-nilai hakikinya.

Untuk itu, memang selayaknya kita tidak terkoptasi oleh lambang-lambang dan namanya. Apalagi karena lambang dan nama tertentu menyebabkan diri kita bersikap diskriminatif dan sektarian. Allah mengingatkan kepada kita bahwa adanya perbedaan (misalnya, lambang) tidak lain agar kita saling kenal mengenal. Dan yang harus kita jadikan parameter kebaikan bukan lambangnya, tetapi nilai-nilai ketaqwaannya.

Allah berfirman yang artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari pria dan wanita, dan membuat kamu suku-suku dan kabilah-kabilah, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-mengetahui, Yang Maha-waspada.” (Q.s. 49: 13).

* *

MENYANGKUT pertanyaan yang kedua, apakah dengan meninggalkan lambang-lambang standar, otomatis akan membuat penganutnya lebih mendekati nilai-nilai hakiki? Menurut penulis, hal ini tidak menjamin dan justru nantinya dapat menyebabkan diri kita masih harus meraba-raba terhadap suatu gerakan dan tindakan tertentu, karena secara kesan awal tidak dapat direspon (bila tidak ada lambang dan nama?).

Penulis juga mempertanyakan, mengapa saudara Dudung AH mengkaitkan lambang lailahaillallah dengan kekalahan Arab Saudi 0 - 4 oleh Cina yang berlambang palu-arit itu? “Apa tidak memalukan?” katanya.

Sekarang, apakah kalau Arab Saudi tidak menggunakan lambang lailahaillallah akan menjamin kemenangan atas tim sepak bola palu-aritnya Cina? Pasti kita tidak bisa menjamin. Kelihatannya saudara Dudung AH, kurang tepat menganalogikan hal tersebut.

Seperti yang penulis singgung di awal tulisan ini, bahwa lambang dan nama tertentu sesungguhnya tidak menjamin si empunya lambang dan nama tersebut akan sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang dikandungnya. Yang jelas, ia hanya merupakan harapan, visi, misi, dan arah kepribadian hidup dari pencetus lambang dan nama tersebut.

Bagi umat Islam, kita diserukan untuk menggunakan lambang-lambang dan nama yang Islami. Dalam suatu riwayat disebutkan, seorang sahabat datang kepada Rasulullah Saw dengan menggandeng anaknya. Dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah hak anakku ini atasku?” Rasulullah Saw menjawab: “Membaguskan namanya, memperbaiki adabnya (sopan santun) dan menempatkannya pada kedudukan (posisi) yang baik (fisik dan spriritual).” (HR. Aththusi).

Jadi, setelahnya kita memilih lambang-lambang dan nama-nama yang baik, langkah selanjutnya adalah memperbaiki adabnya (action, wujud tingkah laku dan programnya). Hal ini dimaksudkan, barangkali antara lambang dan nilai-nilai kesehariannya tidak sejalan dengan nilai-nilai hakiki yang terkandung pada lambangnya.

Kemudian kita juga harus menjaga dan menempatkan orang-orang yang berada di bawah lambang dan nama itu, agar sesuai dengan nilai-nilai hakikinya. Yang menurut saudara Dudung AH ialah iman, peduli terhadap masyarakat, menyuarakan kebenaran dan berkepribadian kokoh.

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan, adalah pada keadaan yang suci bersih; maka orangtuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari). Kaitanya dengan lambang, tentunya biarpun lambang dan namanya bagus; tetapi kalau para pencetus lambang dan namanya tidak beritikad baik maka wujudnya tidak akan sesuai dengan niali-nilai hakiki yang terkandung dalam lambang dan nama tersebut. Wallahu a’lam bish-shawab.***

Arda Dinata, AMKL., Anggota Ash-Shiddiq Intellectual Forum Divisi Jurnalistik, Bandung

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM