- / / : 081284826829

Indonesia Sebuah Fenomena

Oleh: Arda Dinata
email: arda.dinata@gmail.com

Perjalanan kehidupan manusia akan terinspirasi oleh pengalaman masa lalu, apa yang dilakukan saat ini, dan misi visi ke depan yang ingin digapainya. Semua aktualisasi tersebut dapat kita amati dan saksikan dengan pancaindera melalui kehidupan manusia yang bersangkutan.

Demikian juga perjalanan kehidupan Bangsa Indonesia. Ia adalah sebuah fenomena, dari sudut manapun kita memandang. Dan, dari setiap sudut itu pula Indonesia dapat memberi arti atas realitas fisik dan hakekat keberadaan dirinya.

Sebagai sebuah fenomena, tentu Indonesia memiliki hal-hal yang dapat diamati dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Dalam arti lain, Indonesia memiliki beberapa kejadian/ keadaan yang menarik perhatian dan luar biasa.


Belakangan ini, reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon masih berlangsung. Sehingga setiap kalangan, hendaknya mampu menyikapinya dengan hati yang bersih, demi penyelamatan bangsa Indonesia. Dampaknya, tentu akan saling tarik ulur antara gambaran positif dan negatif atas segala sesuatu yang mengililingi dan berinteraksi di dalam romantisme kehidupannya.

Berbicara tentang fenomena, mau tidak mau, kita akan dihadapkan pada sesuatu yang bersifat menyeluruh, bisa dari yang paling sederhana sampai dengan yang rumit; dari yang kecil sampai yang besar; dari masyarakat yang paling bawah sampai pemimpin bangsa, dll.

Fenomena Pluralitas Masyarakat

Indonesia merupakan suatu bangsa yang realitasnya terdiri atas bermacam-macam manusia dengan berbeda latar belakang dan karakter pribadinya. Hal ini didukung pula oleh kondisi daerahnya serta perbedaan suku, agama, ras dan budayanya. Fenomena perbedaan itu, sayangnya sering kali mendominasi kehidupan keseharian kita. Bahkan, seringkali perbedaan tersebut menjadi penghambat berlangsungnya proses pendewasaan kehidupan berbangsa kita.

Padahal, kalau saja setiap elemen penghuni negeri ini mampu bersikap dewasa dan proposional dalam menyikapi perbedaan itu, tentu kedamaian akan diraih, sehingga potensi besar ini dapat kita gerakkan untuk sama-sama mempercepat kemajuan bangsa ini.

Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Imarah (1999), mengungkapkan bahwa “Pluralitas” adalah buah Islam yang berhubungan dengan risalahnya dan terkristalisasikan dalam peradabannya. Karena pluralitas adalah ukuran kemajuan manusia, ketika ia menerima orang lain dan berkoeksistensi bersamanya. Ketika telah matang ia akan melihat sisi elemen dan sifat-sifat ahlak serta faktor-faktor maupun sifat-sifat kesatuan dan kesamaan. Ketika kematangan itu mencapai batas yang dapat melihat keniscayaan perbedaan pendapat sebagaimana halnya kesamaan pendapat karena kemajemukan. Pluralitas adalah hiasan kehidupan. Ia adalah fitrah manusia dan bagian penting dari beragam sisi primer kehidupan.

Sejarah Islam membuktikan dalam dokumen “perjanjian administrasi” yang ditulis oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kepada gubernurnya di Mesir, al-Asytar an-Nakha’i (37H/357M). Dokumen itu mencatat bentuk sosiologis filsafat Islam yang khas dalam mengatur hubungan antar kelas, yaitu perbedaan kelas yang di dalamnya memuat kerangka kebersamaan seluruh kelas yang beragam itu untuk saling membantu satu sama lain menuju kesatuan umat.

Kita dapat melihat bahwa perbedaan itu akan terlihat indah, manakala dapat menyatukannya sesuai aturan dan nilai-nilai Islam. Islam memandang perbedaan sebagai wujud ke-Mahakuasa-an Allah atas ciptaan-Nya dan rahmat yang Allah turunkan bagi makhluk-Nya. Dengan pluralitas, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena akan mengantarkan sebuah kompetisi dari masing-masing elemen untuk berbuat yang terbaik dan selalu ada pembaruan menuju kebaikan.

Fenomena Kepemimpinan Bangsa

Ada kecenderungan bahwa perilaku masyarakat berkait dengan perilaku dan kebijakan pemimpinnya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman mereka yang tidak didasari dengan penggunaan rasionalitas berpikir yang sehat. Akibatnya, apapun yang dilakukan para pemimpinnya dianggap sebagai sesuatu yang perlu diikuti secara mentah-mentah.

Mungkin, hal ini tidak menjadi masalah sepanjang apa yang dilakukan para pemimpin itu tidak menyimpang dari aturan-aturan hukum yang baik, sesuai dengan aturan hukum Allah Swt. Tapi, masalahnya adalah munculnya penyimpangan perilaku dan kebijakan di kalangan elite pemimpin negeri ini. Untuk itu, kedewasaan pola pikir dan standarisasi sosok pemimpin bangsa menjadi hal mutlak yang harus terwujud di kemudian hari, yakni pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya dan memiliki komitmen yang tinggi dalam mengupayakan terciptanya kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Fenomena kepemimpinan Indonesia adalah sesuatu yang mempunyai peran dalam menentukan keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Pigur pemimpin tersebut, tidak lain ia merupakan sosok yang betul-betul memahami potensi negeri ini, baik SDA maupun SDM-nya. Tentu, ia juga memiliki misi visi yang jelas dalam membangun bangsa ke depan dan mampu memimpin serta membawa rakyatnya agar semakin dekat dengan Allah Swt.

Sosok yang berhak memimpin bangsa ini dikemudian hari adalah sosok yang tidak ambisius mengharapkan jabatan. Ia sosok dambaan rakyat yang mampu memimpin dengan bening hati. Rasulullah pernah berkata, “Jabatan itu hanyalah bagi orang yang tidak mencita-citakannya dan tidak serakah padanya; bagi orang-orang yang menghindarinya dan tidak bagi orang yang bersusah payah mengejarnya; bagi orang-orang yang ditawari (tanpa mereka minta) dan tidak bagi yang menuntutnya sebagai hak.”

Pemimpin model ini, tentu pribadinya memiliki ketakwaan kepada-Nya dengan bukti nyata; mampu menggalang persatuan berdasarkan prinsip kebaikan dan takwa; sangat membenci kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan (QS. Al Maidah: 2). Dampaknya, tentu akan muncul perilaku keteladanan, berwibawa, diikuti dan dihormati.

Fenomena SDA dan SDM

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah. Tapi, mengapa kondisi bangsa ini menjadi terpuruk oleh berbagai krisis (terutama krisis ekonomi)? Fenomena ini, patut kita tafakuri sebagai upaya menggali solusi terbaik guna kebangkitan kembali Bangsa Indonesia dikemudian hari.

Faktor keterpurukan tersebut bisa jadi karena kesalahan manajemen, pemanfaatan dan pendayagunaan SDA yang kita miliki. Sebagai contoh, adanya konversi lahan pertanian secara besar-besaran. Artinya, dalam bahasa Adig Suwandi, konversi akan terus berlangsung secara mulus hingga akhirnya menjadi bumerang bagi kita semua karena terkait dengan penataan tata ruang yang amburadul. Dan, pada saat bersamaan harga lahan mengalami eskalasi yang signifikan.

Walau demikian, kita tidak menepis kenyataan yang memperlihatkan bahwa kebutuhan akan lahan yang terus meningkat, sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk dan keperluan penyediaan infrastruktur penunjang dalam konteks pemenuhan kebutuhan, tidak mungkin dihindari.

Namun demikian, agar konversi tidak menimbulkan malapetaka ekologi yang lebih besar, setidak-tidaknya ada 3 pertanyaan yang harus dijawab untuk menyelesaikan kemelut ini: (1) apakah proses konversi sudah sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR); (2) apakah skenario konversi dalam jangka panjang secara ekonomis dan lingkungan merupakan pilihan paling efisien; (3) apakah alternatif lain yang dapat ditempuh agar konversi lahan dalam jangka panjang tidak menimbulkan pengorbanan yang lebih tinggi dari manfaat yang diperoleh. (Adig Suwandi, Republika, 9/9/02).

Lebih dari itu, pelajaran yang bisa kita ambil berkait dengan pengelolaan SDA ini adalah aktualisasi visi ekonomi Islam, seperti yang Allah firmankan dalam Alquran surat ke-28 ayat 77, yang artinya: “Dan carilah, dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, bekal buat kepentingan hidup di akherat, dengan ketentuan jangan terlantarkan kepentingan hidupmu di dunia ini, berbuat baiklah dengan cara yang ihsan sebagaimana Allah senantiasa berbuat ihsan kepadamu ….”

Di sini, penekananya pada proyeksi akherat. Tentu tanpa menyengsarakan kehidupan di dunia. Inilah visi ekonomi Islam. Inisiatif berusaha dan kemandirian ekonomi merupakan sesuatu yang mesti kita mulai dari setiap orang. Semakin banyak mengandalkan kebutuhan ekonomi kepada pihak lain, bersiaplah menuai kekecewaan. Untuk itu, mulailah bangun perekonomian kita dan kokohkan kekuatannya dari pengaruh pihak lain. Allah-lah satu-satunya tempat kita bergantung.

Sementara itu, pengelolaan SDA jelas akan berkait sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya. Dan, kita patut prihatin dengan informasi mutakhir (2002) yang datang dari lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) berpusat di Hongkong tentang SDM kita. Lembaga itu menyebutkan bahwa Singapura, Jepang, dan Hongkong masuk daftar sebagai tiga besar negara paling kecil tingkat korupsinya se-Asia. Dan pada umumnya sebagian besar negara Asia, tingkat korupsinya justru lebih rendah dibanding tahun lalu, kecuali Indonesia justru masuk sebagai “juara” paling korup. Naudzubillah.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa derajat penyelenggara negara ini dipertanyakan moralitasnya. Tentu harus kita rubah secara bertahap agar sesuai dengan aturan Islam. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).

Fenomena Keamanan dan Politik

Sesungguhnya, manusia sangat merindukan terciptanya rasa aman dan damai. Potensi ini dapat menghantarkan seseorang melakukan sesuatu yang lebih baik dalam hidupnya. Pantaslah jika banyak manusia Indonesia dikategorikan tidak punya kualitas. Pasalnya, ketidakamanan dan ketidakdamaian tampak masih menjadi warna dominan kehidupan Bangsa Indonesia. Adanya perpecahan dan ketidakdamaian tersebut berawal dari kesenjangan ekonomi-sosial. Tepatnya, bersumber dari adanya ketidakadilan di setiap elemen, kesombongan merajalela, kedengkian, cinta kelompok yang berlebihan, dan keserakahan di antara kita.

Di masa depan, kesadaran potensi itulah yang harus dikedepankan oleh semua elemen bangsa. Kuncinya, masing-masing elemen hendaknya komitmen terhadap pengaktualisasian rasa aman dan damai sebagai wujud kebutuhan hidupnya. Sikap ini dapat menjadi penghalang dari bahasa kekerasan dan permusuhan pihak-pihak tertentu yang tidak ingin bangsa Indonesia menjadi damai.

Menyikapi fenomena ini, Indonesia yang merupakan penduduknya sebagian besar umat Islam harus memegang peranan penting dalam terwujudnya kedamaian. Caranya tidak lain dengan mempunyai tekad berdamai, semangat bersaudara, semangat ber-tabayun, semangat berjuang demi kemajuan bersama, dan kita mampu mengaktualisasikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua pihak.

Sementara itu, keamanan dan kedamaian dalam bernegara juga bisa ditentukan oleh kondisi perpolitikan yang ada. Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dan nyatanya, fenomena perpolitikan Indonesia masih jauh dari etika Islam. Namun demikian, tentu bukan politik yang membuat semuanya seperti itu. Menurut Kuntowijoyo (1997), kita tidak usah hirau dengan pernyataan bahwa “politik itu kotor”. Yang kotor itu bukan politik, tapi manusianya. Politik adalah fitrah yang berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Maka, adalah hal yang keliru orang-orang yang memisahkan agama dengan politik.

Untuk itu, ada beberapa akhlak yang perlu dibangun dalam berpolitik yang mencerminkan etika Islam, diantaranya adalah niat berpolitik secara ikhlas mengharap ridha-Nya; tidak berdusta; menampilkan program-programnya dengan cara sebaik-baiknya; tidak memaksa; tidak mengucapkan janji secara berlebihan dalam rangka menarik massa agar mendukung partainya; tidak memuji-muji sendiri atau paratainya; tidak jatuh dalam ghibah, caci maki, dan kata-kata kotor; memberikan kemaslahatan bagi bangsa, baik material maupun spritual; dalam aktivitas partainya, selalu ingat akan syariat yang telah diwajibkan Allah Swt.; dan memberikan teladan yang baik.

***

MQ edisi khusus kali ini menurunkan tulisan (Indonesia sebuah fenomena) secara beragam dengan nara sumber dari berbagai golongan yang difokuskan dalam bidang politik, sosial dan agama, ekonomi, serta pendidikan.

Dengan keragaman tulisan dan nara sumber tersebut, semata-mata dimaksudkan paling tidak agar ada keragaman pokok pikiran maupun gagasan yang bisa kita petik hikmahnya, juga menjadi beragam. Adapun pokok pikiran dan gagasan-gagasan yang ada dalam tulisan tersebut, semata-mata merupakan tanggung jawab dan pencerahan dari nara sumbernya sendiri. Dan bukan berarti hal itu mencerminkan kebijakan MQ, tapi kami hanya menjalankan tugas sebagai sebuah media.

Demikian fenomena Indonesia. Pemikiran, perenungan, dan aktualisasi yang benar tentu akan membawa hikmah tersendiri bagi kita. Di sini, kuncinya adalah selalu menggali ilmu tentang hal tersebut, bersabar dalam menikmati proses perjalanan panjang menuju era baru perubahan moralitas dalam membangun bangsa dengan misi dan visi baru, yaitu kemulyaan hidup di dunia dan akherat. Firman Allah, “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).” (QS. Al-Insyiqaaq [84]: 19). Wallahu’alam.*** [Ad/MQ].

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM