- / / : 081284826829

Koalisi Hati Nurani, Pemimpin dan Perdamaian

Oleh: ARDA DINATA

JAUH di luar kota Madinah, hiduplah seorang penggembala kambing. Ia adalah Wahab bin Qabus. Setelah masuk Islam, Wahab tidak merubah aktivitas hidupnya sebagai “orang kampung”, seperti sebelum memeluk Islam. Hari-harinya diisi dengan kebiasaan rutin, bersahabat dengan puluhan kambingnya. Betul, kalau ia telah berubah menjadi seorang muslim, tapi tidak bisa dipungkiri kalau pribadinya tetap setia sebagai seorang penggembala kambing.

Aktivitas penggembalaan itu, mungkin tidak begitu banyak memberi makna baru bagi dirinya. Kecuali pola penghayatan hidup barunya sebagai seorang muslim. Suatu waktu, saat perubahan itu menghampiri Wahab, ia pergi ke kota Madinah lengkap dengan kambing-kambingnya. Awal kepergiannya tidak terlalu istimewa, mungkin hanya untuk menjual kambing-kambing itu, lalu pulang kembali ke kampungnya dengan membawa oleh-oleh dan tetap beraktivitas seperti sediakala.

Namun, setibanya di Madinah, hati kecil Wahab “mengetuknya” untuk mencari tahu keberadaan Rasulullah, yang selama ini menjadi pujaan hati dan teladan bagi hidupnya. Lalu, informasi itu ia dapatkan, bahwa Rasulullah tengah pergi ke medan perang di Uhud. Mendengar kabar itu, Wahab spontan berniat menyusul Rasulullah dengan membawa sebuah pedang sebagai bekalnya. Sedangkan kambing-kambingnya ia tinggalkan begitu saja.


Sesampai di Uhud, kondisi pertempuran telah melampaui setengah babaknya. Posisi Rasulullah saat itu tengah dikepung oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhasil mengecoh para pemanah dari pasukan muslim di atas bukit. Suasana begitu mengerikan. Penyerbuan dari belakang oleh kaum kafir telah membuat komposisi kaum muslim berantakan. Di saat Rasulullah terkepung, beliau bersabda dengan suara keras, “Barangsiapa dapat membubarkan kepungan mereka, ia akan bersamaku di surga.”

Mendengar seruan hati Rasulullah itu, Wahab langsung menghunus pedangnya dan menyerang kepungan orang-orang kafir itu. Mereka pun kocar-kacir dan melarikan diri. Setelah berulang kali orang-orang kafir itu mengepung lagi. Dan Wahab pun berperang dengan keberaniannya, diselingi teriakan Rasulullah yang menyemangatinya.

Walau akhirnya, Wahab menemui takdirnya, mati syahid di Uhud yang membara itu. Usai perang, sesaat setelah orang-orang muslim akhirnya berhasil mengusir orang-orang kafir itu, Wahab tergeletak bermandikan darah. Berkait dengan ini, Sa’ad bin Abi Waqas mengisahkan, “Aku belum pernah melihat orang yang demikian hebat bertempur seperti Wahab bin Qabus.”

* *

KISAH di atas, sesungguhnya telah menuntun kita agar mampu membiasakan diri membangun “koalisi hati” dalam menjalani hidup ini. Kondisi keterpautan hati Wahab dan kematiannya itu, sesungguhnya merupakan sebuah gambaran obsesi kemuliaan dan bagaimana cara memperturutkannya. Inilah sesungguhnya sebuah kejujuran akan kedamaian dalam hidup.

Mau bukti? Mari kita tafakuri dalam relung hati yang paling tersembunyi sekalipun. Adakah yang lebih jujur dari hati nurani, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Singkatnya, sesungguhnya kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati (keimanan).

Betul, kalau hidup ini ada peran beragam. Bahkan kehidupan ini sesungguhnya dibangun atas keberagaman dalam bingkai “kesatuan keimanan”. Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, iman adalah pembenaran dengan hati yang kuat, yang tidak ada keraguan padanya, hingga mencapai derajat yakin. Dan, antitesa iman adalah kufur yang merupakan pembangkangan, pengingkaran, dan pendustaan terhadap Rasulullah Saw. dan atas sesuatu yang beliau sampaikan. Sedangkan, iman adalah pembenaran seluruh yang beliau sampaikan dan bentuknya ini bersifat plural sesuai dengan pluralitas tingkat takwil bagi wujud ini.

Di sini, intinya yang patut disandarkan dalam perilaku membangun kedamaian hidup adalah tafsir akan kesatuan iman itu tidak berarti kesatuan jalan dan perangkat serta teknis yang dipergunakan oleh seorang mukmin dalam menghasilkan keimanan yang satu.

Dalam konteks sekarang, di mana kaum muslim dalam membangun kehidupan berbangsa ini lebih memilih warna tafsirnya sendiri. Hal ini sah-sah saja. Namun sesungguhnya, bagi seorang muslim, ia tidak bisa lari dan melupakan diri atas kesatuan keimanan yang telah diyakininya. Artinya, ketika usaha mewujudkan kedamaian ini secara fisikal berbeda-beda warna dan ”susah untuk dipersatukan,” maka saat itulah jalan satu-satunya adalah setiap kita untuk ingat dan mampu mewujudkan terciptanya “koalisi hati”.

* *

KOALISI hati, adalah kata yang indah dan memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, bila setiap kita mampu mensinergikannya. Lebih-lebih hal itu diperuntukan untuk kebaikan bersama. Tanpa ada koalisi hati, sesungguhnya tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Karena, bukankah perdamian itu sendiri merupakan fitrah dari hati manusia?

Kekuatan koalisi hati bukan hanya pada fitrahnya, tapi karena hati merupakan tunas dari kekuatan kedamaian itu sendiri. Dr. Ahmad Faried menggambarkan hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai reaktor pengendali atau remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Oleh karena itu, semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Islam sendiri membimbing manusia bagaimana menitikberatkan pada hasrat hidup bermakna sebagai motif asasi fitrahnya. Sehingga tidak berlebihan ada pandangan yang menyebutkan kalau stabilitas, ketenangan, kedamaian, juga kebahagiaan manusia, berbanding lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam. Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan kehidupan ini tidak bisa berfungsi dengan baik, ada banyak ketimpangan dan kejanggalan.

Untuk itu, agar kedamain hidup berbangsa ini tercipta, kiranya isi nasehat ulama kepada penguasa Umar bin Abdul Aziz patut diteladani. Lebih-lebih bagi mereka yang telah berhasil dipilih sebagai anggota “legislatif dan eksekutif”. Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz meminta nasehat kepada para ulama. Salim bin Abdullah menasihatinya, “Wahai, Khalifah! Jadikanlah seluruh rakyat sebagai ayah, saudara, dan anakmu. Berbaktilah kepada ayahmu, periharalah hubungan baik dengan saudara-saudaramu, dan sayangilah anakmu.”

Ulama lain, Muhammad bin Ka’ab, menasihati, “Wahai Khalifah, cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah sesuatu untuk orang lain sebagaimana engkau membenci sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Hasan al-Bashri menasihati, “Demi Allah, aku telah bergaul dengan banyak orang yang sedap dipandang mata dan tutur katanya menyentuh hati. Ucapan mereka adalah penawar bagi apa yang ada di dalam dada. Memelihara diri dengan halal lebih mereka utamakan daripada menjaga diri dari yang haram. Perhatian mereka terhadap shalat sunat lebih besar daripada perhatian kita terhadap shalat fardu. Mereka menutupi kebaikan-kebaikan mereka sebagaimana kita menutup-nutupi segala keburukan kita. Mereka menangis jika berbuat kebaikan sedangkan kita tertawa jika berbuat kesalahan.” Khalifah mendengar semua nasihat ini sambil menutupi wajahnya dan menangis tersendu-sendu.

Akhirnya, sudah menjadi kepastian kalau peran strategis itu membutuhkan keahlian dan kapasitas yang tidak biasa-biasa saja. Dialah sosok-sosok manusia yang mampu realisasikan “koalisi hati” dalam hidupnya sebagai tunas kedamaian. Sesungguhnya, kejujuran pada (koalisi) hati nurani, yang disirami dengan iman dan keyakinan penuh kepada Allah, adalah mata air kedamaian yang tidak pernah kering. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com/
WWW.ARDADINATA.COM