- / / : 081284826829

Politik Perubahan Bangsa dan Telaga Kesejukan Islam

Oleh Arda Dinata

SAAT ini --menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004--, keadaan keamanan dan kedamaian dalam bernegara (kecenderungan) ditentukan oleh kondisi politik yang ada. Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan diantara manusia. Menurut Kuntowijoyo, kita tidak usah hirau dengan pernyataan “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Maka, adalah hal yang keliru bila orang yang memisahkan agama dengan politik.

Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun, bukan berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama. Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).

Di sinilah, kita harus membangun politik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.



Untuk mencapai itu, kita tidak boleh terlepas dari etika islami. Bukankah untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan. Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih. Dan dengan cara yang bersih pula, maka hasilnya akan mengandung manfaat yang penuh berkah.

Islam sendiri merupakan sumber inspirasi bagi kehidupan manusia di panggung dunia, termasuk dalam hal melakukan politik perubahan bangsa. Artinya setiap kita ‘bebas’ memainkan peran apa saja, yang jelas setelah itu kita akan menjalani kehidupan sebenarnya. Di situlah, eksistensi seorang manusia menjadi taruhannya dalam menggapai hidup bahagia yang hakiki.

Aktualisasi perilaku dalam menggapai tujuan hidup itu, pada masyarakat realitasnya banyak yang keliru dan semu. Mereka dengan berbagai cara berusaha mempertahankan kedudukan, pangkat, jabatan dan status sosial lainnya, yang kadangkala mengabaikan etika dan moralitas. Padahal, Islam sendiri mengajarakan bahwa berbagai label duniawi itu hanyalah aksesoris dunia semata. Justru, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia manusia yang akan mengantarkannya pada status hidup bahagia.

Perilaku model itu, saat ini masih mengayomi pola pikir masyarakat Indonesia. Materialisme diagungkan, sementara moralitas diabaikan. Kenyataan ini, kalau kita sadar dan mau jujur sebenarnya itulah yang merupakan akar dari keterpurukan bangsa ini. Dampaknya, bila pola pikir dan perilaku semacam itu masih dilakukan masyarakat, maka jangan harap bangsa ini segera mengalami perubahan kehidupan yang lebih baik.

Oleh karena itu, pantas saja TS Eliot mengungkapkan, “Kehidupan di dunia ini mungkin akan berakhir dengan rengekan ketimbang jeritan. Dunia ini mungkin akan terjerumus ke dalam masa depan yang suram, diledakan oleh konflik, menderita ketidakadilan, yang dengan nekad mencoba mencari bentuk kehidupan yang lebih berarti.” Dengan kata lain, masyarakat saat ini sebenarnya sedang memerlukan pemahaman tentang perubahan bangsa. Untuk mencapainya, kuncinya harus berawal dari pemahaman perubahan sosial yang terjadi di masyarakat secara baik.

Perubahan sosial, kata Selo Soemardjan, diartikan sebagai perubahan-perubahan pada lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Sementara para ahli sosiolog, membagi perubahan sosial menjadi beberapa bentuk. Pertama, perubahan lambat (evolusi) dan perubahan cepat (revolusi). Kedua, perubahan kecil dan perubahan besar. Ketiga, perubahan yang dikehendaki (direncanakan) dan perubahan yang tidak dikehendaki (tidak direncanakan).

Atas kesadaran itulah, harusnya kita ‘melek’ betul bahwa kehidupan ini pasti mengalami perubahan-perubahan, namun bentuknya bisa saling tumpang tindih atau berkolaburasi satu sama lainnya. Yang jelas, tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa.

Jadi, sangat wajar bila berawal dari berlangsungnya perubahan sosial yang baik di masayarakat itu akan berdampak terhadap perubahan bangsa yang baik pula di kemudian hari. Inilah kelihatannya sebuah kesadaran yang perlu dipahami oleh setiap kalangan pembangun bangsa, sehingga kita tidak terbawa dalam mitos perubahan yang menyesatkan.

Mitos perubahan sosial
Bagi orang Islam, hidup haruslah tidak terlepas dari aktivitas baca. Karena membaca merupakan kewajiban yang diserukan pertama kali melalui firman-Nya, seperti yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. aktivitas baca ini haruslah dimaknai secara aktif terhadap “tanda-tanda baca” yang telah diperlihatkan-Nya pada manusia. Di sinilah, fungsi akal memiliki peranan yang sangat menentukan untuk dapat membaca secara benar terhadap ayat-ayat Allah yang tertulis maupun tersirat dalam realitas alam.

Pada konteks ini, betapa banyak realitas alam yang telah mengajarkan pada makhluk berakal untuk memaknai atas sunatullah dari perubahan hidup. Misalnya, bagaimana sebuah pohon menjadi besar. Berawal dari biji, tumbuh akar, tunas, daun, buah dan kemudian mati. Begitu pun manusia, dari kandungan ibunya, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati. Bukankah semua itu pertanda sebuah perubahan dalam hidup manusia yang harus dijalani?

Adanya proses perubahan itu dimaksudkan untuk menggapai kedewasaan dan kesempurnaan hidup seorang hamba di hadapan Sang pemeilik kehidupan. Sayangnya, makna tersebut tidak mampu ditafsirkan secara benar dalam masyarakat kebanyakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa mitos yang tersebar di masyarakat berkait dengan makna perubahan tersebut.

Menurut Agus Setiaman (2000), ada tiga mitos tentang perubahan ini. Pertama, mitos penyimpangan. Sejumlah besar pemikiran sosiologis membayangkan perubahan sosial dalam arti sebagai perkosaan terhadap keadaan normal. Artinya keadaan normal peristiwa dalam masyarakat adalah terus menerus, institusi atau nilai-nilai kebudayaan dibayangkan stabil sepanjang waktu.

Presfektif yang dominan dalam dekade belakangan ini adalah persfektif struktural fungsional yang memusatkan perhatian dan dukungannya pada tatanan sosial yang ditandai stabilitas dan integrasi. Pemutusan perhatian pada stabilitas ini (akibatnya mengabaikan perubahan) dengan asumsi bahwa analisis statis dapat dilakukan tanpa mempersoalkan perubahan, dan untuk memahami perubahan sosial, terlebih dahulu diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang masyarakat dalam keadaan statis.

Kedua, mitos tentang trauma. Pemikiran yang mengatakan perubahan adalah abnormal sering dihubungkan dengan pemikiran yang mengatakan bahwa perubahan adalah traumatis. Perubahan dipandang sebagai siksaan, krisis, dan agen asing yang tak terkendali. Dalam hal ini, Spincer memberikan pandangan mengapa orang trauma dalam menghadapi perubahan? Penyebabnya adalah perubahan itu dibayangkan dapat mengancam keamanan dasar, perubahan itu tidak dipahami masyarakat, dan perubahan itu terlalu dipaksakan.

Ketiga, mitos perubahan satu arah dan pandangan utopia. Auguste Comte dalam teori evolusi sosialnya menyatakan bahwa semua masyarakat menuju pada tujuan yang seragam dan menempuh jalan yang seragam pula untuk mencapai tujuan tersebut. Teori ini melukiskan urutan perkembangan masyarakat pada urutan yang tak terelakan, menjurus ke arah tujuan yang telah ditakdirkan sebelumnya.

Dalam pandangan utopia berasumsi bahwa masyarakat industri modern mencerminkan wujud tertingginya dalam prestasi manusia. Karena itu, penyelesaian masalah dunia adalah terletak pada usaha membantu negara-negara berkembang memodernisasikan dirinya secepat dan sebaik mungkin sehingga serupa dengan Barat. Dengan demikian negara-negara berkembang segera menikmati perdamaian dan kesejahteraan.

Telaga kesejukan Islam
Tersebarnya mitos-mitos tersebut, tentu memberi dampak cukup berarti dengan perjalanan perubahan bangsa. Lebih-lebih hal itu didukung oleh realitas akibat perubahan sosial yang ada selama ini menyebabkan terjadinya berbagai krisis. Misalnya, ketika era reformasi muncul, banyak orang berpengharapan bahwa krisis ini akan segera teratasi.

Namun kenyatakan memperlihatkan, walaupun berbagai upaya untuk memulihkan telah dilakukan, tetapi karena parahnya kerusakan yang terjadi di hampir sisi kehidupan bangsa, hingga saat ini telah menyebabkan upaya yang ditempuh pemerintah belum berhasil menunjukkan tanda-tanda terang menuju perbaikan.

Konsekuensi realitas tersebut, terlihat nyata di hadapan realita perubahan saat ini sebagian manusia memilih menjadi kaum status quo. Menolak apa pun yang berbau perubahan. Di sisi lain, sebagian lainnya justru sangat bersemangat mengusung bendera perubahan. Kaum ‘pembaharu’ ini tiada henti meneriakkan ide revolusi. Salah satu yang sedang hangat menjelang pemilu 2004 adalah membuat daftar para “politisi hitam’, agar masyarakat tidak memilih figur yang memiliki “cacat secara hukum dan politik kotor”. Dengan “pedang terhunus” mereka membabat atribut-atribut kemapanan, sambil bersenandung, mengutip ungkapan filsuf Yunani, "Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri.”

Keberadaan kedua kelompok itu, secara nyata telah menghiasi perjalanan “perahu bangsa” bernama Indonesia. Dan masing-maasing kekuatan itu, tentu akan berusaha membela kepentingannya. Hal ini, meminjam bahasa Joko Waskito, ide statisme yang menyakini bahwa kehidupan ini baku, tetap, berhenti dan tiada toleransi waktu sejengkal pun untuk perubahan adalah wujud kekalahan sejarah yang patut ditangisi selama kita masih memiliki air mata.

Di sisi lain, kaum revolusioner sejati yang menolak apapun yang bersifat tetap, stabil dan baku adalah kalangan yang layak dipertanyakan nalar kritisnya. Kita memahami bahwa sebuah eksistensi tidak akan muncul kecuali melalui proses. Lantas, bagaimana pandangan Islam dalam menyikapi fenomena ini?

Islam dalam banyak keterangan ditemukan sikap yang proposional. Artinya dalam memandang sesuatu persoalan itu sesuai dengan konteks hakikinya. Dalam arti lain, Islam itu adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Pada satu sisi, Islam merupakan agama yang akan melestarikan prinsip-prinsip yang telah baku, seperti prinsip ketahuidan dan realitas sunatullah di alam semesta. Namun, di sisi lain Islam membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai kemajuan hidup manusia.

Pada tataran demikian, di sinilah kita temukan telaga kesejukan Islam. Atau dalam banyak hal. Pola pendekatan “jalan tengah” sering kali ditawarkan Islam. Lagian, bukankah Islam itu agama rahmatan lil alamin? Di sini, kuncinya terletak pada bagaimana sikap dan perilaku kita dalam mengaplikasikn pola-pola hidup perubahan bangsa itu secara benar atau tidak. Salah satu caranya ialah bagaimana masyarakat mampu berperan aktif untuk memilih figur-figur politik perubahan saat pemilu 2004 nanti?

Akhirnya tidaklah berlebihan, bila pendekatan “jalan tengah” –pada hal-hal di luar prinsipil—menjadi sesuatu yang perlu dibangun bersama-sama dalam memaknai sebuah perubahan bangsa menuju tatanan berbangsa dan bernegara yang lebih baik secara etis maupun moral. Untuk itu, pilihlah sosok-sosok politik pembaharu/perubaahan bangsa menuju telaga kesejukan Islam. Wallahu’alam.***



Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com/
WWW.ARDADINATA.COM